Selasa, 03 Januari 2012

Perjuangan A Adisutjipto

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berkumandang, Adisutjipto mengetahui langsung dari pemancar radionya. Berita tersebut kemudian disampaikan kepada ayahnya, yang segera meminta anaknya itu bertindak cepat karena telah tiba waktunya. Tetapi Adisutjipto justru sudah menyusun kekuatan, saat menjelang detik-detik proklamasi itu. Ia telah aktif menghimpun pemuda-pemuda dari Salatiga dan Ambarawa, untuk latihan militer yang kemudian tergabung dalam BKR. Semuanya ini nyatanya telah dipersiapkan dengan matang, kendatipun proklamasi belum kepastiannya saat itu.
 
Maka ketika Proklamasi Kemerdekaan didengungkan oleh pemimpin bangsa Indonesia Soekarno-Hatta, Adisutjipto bersama-sama teman sekerjanya serta pemuda-pemuda Salatiga mulai bergerak merebut kantor Jidosnya Jumukyoku tempat ia bekerja. Kemudian mereka menerunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Sang Saka Merah Putih.
 
Berkat usahanya bersama barisan Pemuda, maka Gubernur Jawa tengah Wongsonegoro yang berkedudukan di Semarang dapat ditemui di daerah pelariannya di Ungaran. Atas anjuran Adisutjipto, Gubernur kembali masuk ke Kota Semarang untuk mengadakan perundingan dengan pihak sekutu. Kali inipun beliau menjadi juru bahasa dalam perundingan.
 
Sedang sibuk-sibuknya mengatur siasat pertahanan di kota Salatiga, datanglah kawan lamanya di Militaire Luchtvaart dulu Tarsono Rujito yang telah berpangkat Mayor TKR. Ia merupakan utusan khusus Suryadarma untuk mengajak Adisutjipto mendirikan TKR- Jawatan Penerbangan di Yogyakarta. Tentu saja ajakan itu tidak disia-siakan, karena sesuai dengan profesi dan keinginannya selama ini.
 
Sementara itu para pemuda Indonesia yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat mulai mengadakan serangan ke lapangan terbang, dan berhasil merebut serta menguasainya. Namun mereka hanya mendapatkan pesawat-pesawat terbang peninggalan Jepang yang telah rusak.
 
Adisutjipto setelah memenuhi panggilan Kepala Markas Tertinggi Jawatan Penerbangan di Yogyakarta, segera langsung terjun memperbaiki pesawat-pesawat bekas Dai Nippon itu. Walaupun tugas itu cukup berat mengingat keadaan yang sangat darurat, kurangnya biaya, dan tenaga ahli, namun dengan penuh keyakinan dan semangat juang, bersama kawan-kawannya ia dapat mengatasi segala kesulitan itu. Di lapangan udara Maguwo, pihak Jepang meninggalkan kurang lebih 50 buah pesawat dengan berbagai jenis.

Beberapa saat kemudian lapangan terbang Kalibanteng di Semarang juga telah dapat direbut dari pihak musuh. Hampir semua pesawat yang ditinggalkan oleh Jepang tidak ada yang utuh dan tidak dapat segera dipakai. Maka dengan bekerja keras tanpa kenal lelah, akhirnya dapat memperbaiki beberapa pesawat dari tipe Nishikoren, Cureng, dan Cukiu, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai modal utama dalam perjuangan membela tanah air.
 
Hasil jerih payah Adisutjipto bersama kawan-kawannya itu, ternyata tidaklah sia-sia, karena sebuah pesawat Cukiu dapat diterbangkan oleh rekannya bernama Pantoh. Karena Adisutjipto sendiri berhasil menerbangkan Cureng di atas Kota Yogyakarta dengan tanda Merah Putih di badan pesawat itu. Berikutnya bersama Tarsono Rujito, kembali Adisutjipto berhasil memperbaiki tipe Nishikoren. Pesawat itu kemudian diberi nama “Banteng”
 
Dengan modal pesawat-pesawat yang telah direparasi itulah, maka di awal tahun 1946 Bagian Teknik Udara mulai mendidik dan melatih calon-calon penerbang. Adisutjipto ditunjuk sebagai instruktur, sedangkan kadetnya yang pertama adalah Iswahyudi dan Imam Wiryosaputro. Secara kilat dalam tempo tiga minggu saja, keduanya telah mampu mengadakan penerbangan solo. Saat itu telah berhasil diperbaiki sebanyak 27 pesawat tipe Cureng bersayap dua. Sedang sebulan kemudian pesawat bersayap satu Cukiu berhasil didaratkan di Maguwo dari Malang oleh Adisutjipto pula.
 
Dapatlah dibayangkan betapa dibutuhkannya tenaga Adisutjipto oleh negara, yang sedang berusaha mempertahankan kemerdekaan saat itu. Oleh karena itu isterinya menyadari, bahwa ia harus dapat menyesuaikan diri dengan tugas suaminya. Walaupun hati kecilnya terasa berat, apalagi sebagai pasangan suami isteri yang masih baru dan sering ditinggal sendiri. Sang suami hampir tidak mengenal waktu istirahat, hingga seringkali setiap hari Minggu tidak sempat mengikuti kebaktian di gereja, karena mementingkan tugas negara. Namun begitu Adisutjipto termasuk seorang pemeluk agama Katholik yang taat. Kitab Injil tidak pernah lepas dari sakunya.
 
Pada tanggal 9 April 1946 dengan keluarnya penertapan pemerintah No. 6 / SD / 1946 yang menetapkan merubah TKR – Jawatan Penerbangan menjadi TRI- Angkatan Udara, Adisutjipto diangkat sebagai Wakil Kepala Staf dengan pangkat Komodor Muda Udara, bersama R. Sukarnen Mertodisumo yang berpangkat Komodor Udara. Sedangkan Komodor Udara R. Suryadarma dikukuhkan sebagai Kepala Stafnya.
 
Sebelum ini, Suryadarma telah memperjuangkan dengan tiada jemu-jemunya agar Angkatan Udara menjadi Angkatan Perang RI yang sederajat dengan Angkatan lainnya, seperti lazimnya di negara-negara Barat yang telah maju dalam bidang angkatan udara.
Oleh karena itu tepatlah kiranya Penetapan Pemerintah tersebut, mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan, di mana unsur angkatan udara dan angkatan laut memegang peranan penting.
 
Pada tanggal 21 sampai 26 Mei 1946 diadakan latihan penerbangan formasi. Dalam latihan tersebut dipergunakan pesawat Cureng dengan instruktur Iswahyudi dan Wiryosaputro, sedangkan Adisutjipto sebagai instruktur pesawat Cukiu. Agustinius Adisutjipto turut serta dalam Hari Penerbangan pada upacara peresmian lapangan terbang Cibeureum Tasikmalaya pada tanggal 10 Juni 1946. Bersama penerbang-penerbang lainnya dari Maguwo, mereka menggunakan lima pesawat tipe Cureng.
 
Kemudian tepat setahun sebelum Adisutjipto gugur, beliau telah mengadakan penerbangan ulangan percobaan pesawat Guntai bersama Atmo Ali. Dari hasil percobaan itu, olehnya dipandang siap dengan perbaikan-perbaikan pada bagian motor dan badan pesawat. Pada tanggal 5 Agustus 1946 dengan pesawat yang diberi nama Diponegoro I, Adisutjipto menerbangkannya dari Malang ke Maguwo dengan selamat. Tetapi dalam percobaan selanjutnya mengalami kerusakan hebat sehingga tidak dapat dipakai lagi. Pesawat Diponegoro I ini adalah jenis pembom.
 
Begitu pula halnya dengan pesawat jenis Cukiu dan Cureng mengalami kerusakan lagi karena kecelakaan. Nampaknya kondisi teknis pesawat memang sangat memprihatinkan dunia penerbangan kita saat itu, sementara suku cadangnya pun sulit didapat.
 
Pada suatu ketika, pesawat yang dikemudikan Adisujtipto mengalami kecelakaan yang fatal. Pesawat itu menabrak sebatang pohon kelapa dan karena kecepatan terbang yang cukup tinggi akhirnya jatuh dengan posisi terbalik. Saat itu Adisutjipto dapat menyelamatkan diri, tetapi kawannya Tarsono Rudjito terlempar keluar, sehingga tulang punggungnya patah dan menyebabkan kematiannya. Tarsono Rudjito merupakan korban pertama dari Angkatan Udara Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Salatiga pada tanggal 13 September 1946.
 
Selama sembilan hari di bulan November Adisutjipto kembali mengadakan latihan pemboman di Maguwo bagian selatan bersama Komodor Suryadarma dengan pesawat Guntai. Disaat itulah 4 November 1946, isterinya melahirkan putera pertama seorang laki-laki. Puteranya itu kemudian diberi nama Franciscus Xaverius Adisutanto, dengan nama panggilan sehari-hari Tondy. Ternyata setelah Tondy berusia sembilan bulan, ia tidak pernah melihat ayahnya lagi. Putera tunggal almarhum ini, sekarang adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
 
Sebulan kemudian latihan pemboman dilanjutkan lagi di atas Laut Jawa. Kali ini Adisutjipto didampingi oleh Eddy Sastrawijaya, Kepala Bagian Persenjataan AURI. Demikian pula latihan terbang malam, semuanya berhasil dengan memuaskan.
 
Sementara latihan penerbangan militer terus dilakukan secara intensif, agar pertahanan udara nasional dapat lebih dimantabkan, maka dirintis pula jalur penerbangan sipil, sebagaimana yang telah digariskan pemerintah kepada Markas Tertinggi Jawatan Penerbangan. Dalam hubungan penerbangan sipil inilah, Adisutjipto berkenalan dengan Patnaik, seorang pengusaha India yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia. Perkenalan sejak Februari 1947 itu berlangsung singkat namun cepat menjadi intim.
 
Patnaik kemudian memberi izin kepada Adisutjipto dan Iswahyudi untuk belajar mengemudikan pesawat Dakota VT-CLA, miliknya sendiri. Namun rupanya sudah semestinya, bahwasanya pesawat milik orang India itu ikut tercatat dalam sejarah perjuangan Indonesia. Dalam suatu tragedi, pesawat Dakota itu ditembak Belanda sehingga menewaskan Adisutjipto dan Dr Abdurrahman Saleh beserta beberapa penumpang lainnya.
 
Demikianlah beberapa gambaran perjuangan Adisutjipto dalam mengemban tugas yang dipercayakan kepadanya. Dia bukanlah pemimpin yang hanya memerintah saja, melainkan seorang pemimpin yang penuh tanggung jawab. Betapa tidak! Pesawat yang sudah dapat diperbaiki, sebelum dipergunakan anak buahnya, dia sendiri yang mengadakan test penerbangan. Dia tanpa menghiraukan resiko yang berbahaya, tetap berusaha untuk mengembangkan dunia penerbangan di Indonesia.
 
Dan ternyata cita-citanya kemudian menjadi kenyataan. Beliau memiliki andil yang tak ternilai bagi pertumbuhan Angkatan Udara Republik Indonesia khususnya dan dunia penerbangan di Indonesia umumnya. Segala kemampuan dan daya yang dimilikinya telah dicurahkan demi negara dan bangsanya.

Bapak Penerbang RI
Nama Agustinus Adisutjipto tidak dapat dipisahkan dengan sejarah berdirinya Angkatan Udara Republik Indonesia. Ia merupakan pembina, perintis serta penumbuh AURI. Dialah putera Indonesia yang pertama mendapatkan Brevet Penerbang Militer. Sebenarnya ada seorang lagi yakni Sambujo Hurip yang telah gugur di masa Perang Dunia II. Tetapi ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, hanya Adisutjipto satu-satunya yang memiliki tanda itu.
 
Sejak diserahkannya wewenang bidang keudaraan kepada Jawatan Penerbangan, diantara personelnya terdapat dua orang tokoh perintis di dalam sejarah pendidikan dan pertumbuhan penerbangan di Indonesia, dan TNI AU khususnya. Siapakah kedua tukoh itu? Tidak lain ialah almarhum Marsekal Muda TNI Anumerta Agustinus Adisutjitpo dan almarhum Mayor Udara Anumerta Tarsono Rudjito.
 
Sesuai dengan peningkatan posisi bagian penerbangan waktu itu, maka pemerintah Republik Indonesia telah menunjuk dan menetapkan S. Suryadarma sebagai Kepala Bagian Penerbangan. Sedangkan Agustinus Adisutjipto dan Sukarnen Matodisumo sebagai pembantu-pembantunya.
 
Dengan selesainya tugas penyerahan pada Markas Tertinggi Jawatan Penerbangan tersebut, maka pimpinan dihadapkan kepada suatu masalah yang cukup rumit. Yaitu bagaimana seharusnya menata dan menyusun struktur serta memanfaatkan segala materi yang telah mereka kuasai.
 
Dalam keadaan yang terbatas dan didesak oleh kepentingan nasional untuk mempertahankan kedaulatan negara, maka tercetuslah gagasan untuk mendirikan sekolah penerbang secara darurat, agar dalam waktu singkat dapat dihasilkan tenaga-tenaga pilot yang sangat dibutuhkan itu.
 
Selain itu untuk membangun penerbangan militer dan membuka penerbangan sipil kita belum mempunyai tenaga ahli yang cukup. Sedangkan pesawat yang dimiliki hanyalah terdiri dari peninggalan Jepang yang sulit diandalkan. Namun para perintisnya tidak putus harapan. Semuanya itu kendati dihadapi dengan prihatin, tetapi dengan moril dan semangat yang tinggi karena kecintaannya terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri ini. Maka atas prakarsa pemuda Adisutjipto didirikanlah Sekolah Penerbangan yang pertama. Sekolah itu berdiri sejak 15 November 1945 di Maguwo Yogyakarta.
 
Sekolah penerbangan inilah yang kemudian menjadi titik tolak berdirinya Lembaga Pendidikan Angkatan Udara. Memang di samping Maguwo, telah ada juga Sekolah Penerbangan yang bersifat darurat di Pangkalan Udara Bugis, Malang atas prakarsa kawan-kawan Adisutjipto yakni Suhud dan H. Suyono. Tetapi Sekolah Penerbangan di Malang hanyalah merupakan kursus pengetahuan praktis yang berisi ceramah-ceramah saja. Sifatnya hanya menyebarkan pengetahuan tentang penerbangan, jadi bukanlah merupakan sekolah.
 
Sedangkan Sekolah Penerbangan di Yogyakarta yang dipimpin oleh seorang ahli, didirikan dalam situasi perjuangan kemerdekaan, untuk segera dapat dicetak pilot-pilot kebangsaan Indonesia.
 
Dalam rangka melancarkan usaha Sekolah Penerbangan ini, pimpinan Pangkalan Udara Bugis di Malang, yaitu Imam Soepono, telah memberikan bantuan pesawat udara kepada Sekolah Penerbangan di Yogyakarta. Bantuan pesawat itu seluruhnya berjumlah 37 buah. Dan sebagai kelanjutannya, kedua lembaga pendidikan itupun berintegrasi, sehingga sejak itu hanya dikenal satu Sekolah Penerbang yang ada di Yogyakarta. Lembaga Pendidikan Penerbangan inilah yang kemudian menjadi embrio dari Akademi Angkatan Udara yang sebenarnya.
 
Dalam Sekolah penerbangan itu, tugas pendidikan dan latihan dipegang langsung oleh Adisutjipto, sedang bidang administrasi dan operasi dipegang oleh Suryadarma. Karena itulah, Adisutjipto disebut sebagai Bapak Penerbang Indonesia.
 
Yang dipakai sebagai pesawat latih mula tetap pesawat jenis Cureng. Walaupun sudah tua tetapi merupakan warisan yang sangat berguna bagi dunia pendidikan penerbangan Indonesia. Bahkan jenis pesawat ini juga dipakai sebagai pesawat pemburu. Dan harus diingat, karena kondisi pesawat tidak sepenuhnya baik, maka para calon penerbang di samping harus memiliki mental dan fisik kuat, nyawanya seringkali menjadi taruhannya.
 
Namun para pemuda Indonesia waktu itu, benar-benar telah menyediakan diri mereka untuk rela berkorban demi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Dan karena terjalin hubungan yang erat antara para pimpinan Angkatan Udara, terutama Suryadarma dan Adisutjipto, maka dapat dihasilkan berpuluh-puluh pemuda yang menjadi “Gatotkaca Indonesia”, yang siap sedia menghancurkan lawan dari udara. Juga karena berkat gemblengan dan bimbingan Adisutjipto, “Rasa Cinta Udara” menjadi terkenal di kalangan pemuda Indonesia.
 

Menuju Akademi Angkatan Udara

Bulan September 1947 TNI Angkatan Udara untuk pertama pertama kalinya menerima pemuda-pemuda lulusan SMA untuk dididik sebagai siswa penerbang. Dalam angkatan pertama ini, termasuk adik kandung Adisutjipto sendiri menjadi siswanya yaitu A. Daryono.
 
Bulan November 1950, TNI AU mengirimkan 60 orang kadet ke California. Di samping mengirimkan kadet-kadet ke luar negeri, di Bandung Pangkalan Udara Husein Sastranegara juga dibuka Pendidikan Tehnik dan Materiil. Tetapi pendidikan angkatan selanjutnya sampai sekarang berlokasi di Pangkalan Udara Adisutjipto, yang semula bernama Maguwo.
 
Sebagai pimpinan Sekolah Penerbangan yang mempunyai tanggung jawab besar, Adisutjipto juga aktif mencari bantuan ke luar negeri. Ia sering herus menerobos blokade musuh, untuk bertindak selaku utusan atau liasion officer, seperti ke India, Pakistan dan Filipina. Dari perjalanan diplomasinya itulah dapat dihasilkan bantuan berupa obat-obatan, senjata, tenaga pelatih dan bantuan lainnya lagi. Khusus dengan India, yang telah memberikan bantuan pesawat jenis dakota VT-CLA yang ternyata membuat sejarah tersendiri bagi Bapak Penerbang kita.
 
Pada tanggal 9 April 1960 di Lanuma Adisutjipto diadakan upacara peletakan batu pertama pendirian gedung Akademi Angkatan Udara. Dengan demikain secara resmi Lanuma Adisutjipto menjadi tempat pendidikan para calon-calon perwira TNI Angkatan Udara. Pada tahun 1965 tempat pendidikan itu diresmikan menjadi Akademi Angkatan Udara (AAU) dengan patakanya yang bersemboyan “Vidya Karma Vira Pakca”. Sedangkan untuk panggilan para Taruna Akademi Angkatan Udara diubah menjadi “Karbol”.
 
Bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tanggal 5 Oktober 1966, Lembaga-lembaga pendidikan Militer yaitu: Akademi Militer Nasional (AMN), Akademi Angkatan laut (AAL), Akademi Angkatan Udara (AAU), Akademi Angkatan Kepolisian (AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Dengan demikian sebutan Akademi Angkatan Udara kini menjadi AKABRI Bagian Udara.
 
Demikianlah sekilas pertumbuhan Sekolah Penerbang hingga menjadi AKABRI Bagian Udara, yang telah dirintis oleh bapak penerbang Indonesia, Adisutjipto.

SUMBER http://202.158.39.213/content.asp?contentid=3265: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar