Selasa, 03 Januari 2012

Kisah Gugurnya Adisutjipto

Seperti telah kita ketahui, selain kariernya di bidang kemiliteran, Adisutjipto juga seorang diplomat yang cukup berhasil dalam menangani masalah-masalah sarana pertahanan udara dengan luar negeri. Dari hasil misinya itu, ia mendapat bantuan tenaga pelatih dan instruktur dari negara-negara sahabat, seperti Filipina dan India untuk Sekolah Penerbangan yang sedang dibinanya. Di samping itu, juga mencari pinjaman atau membeli pesawat terbang.
 

Untuk mencari dana guna pembelian pesawat terbang ini, di dalam negeri sendiri diusahakan oleh Adisutjipto dengan bergabagi cara, antara lain menyelenggarakan malam hiburan amal. Misalnya pada “Malam Pembeli Bomber”. Saat itu diundang beberapa tokoh, para pengusaha, dan dermawan. Dengan menyelenggarakan seperti itu ternyata hasilnya cukup baik dalam memperoleh dana.
 

Dalam kunjungan ke India, oleh Sri Jawaharlal Nehru telah diperkenalkan kepada Adisutjipto, seorang industrialis India yang terkenal, Patnaik. Dalam pertemuan itu, Patnaik akhirnya setuju untuk meminjamkan sebuah pesawat Dakota kepada Pemerintah Indonesia untuk keperluan penerbangannya.
 

Kapergian yang kedua kali ditemani oleh bekas dosennya yang juga sebagai kawan karibnya Prof. Dr. Abdurrachman Saleh, untuk membawa pesawat Dakota VT-CLA yang telah dijanjikan oleh Patnaik itu. Dari India mereka singgah di Singapura, di mana penguasa setempat yakni Pemerintah Inggris dan juga Belanda telah mengizinkan pesawat itu meneruskan perjalanannya ke Indonesia untuk mengangkut obat-obatan.
 

Demikianlah, pada tanggal 29 Juli 1947 di senja hari, pesawat Dakota VT-CLA bertolak dari Singapura menuju Yogyakarta mengangkut obat-obatan bantuan Palang Merah Malaya kepada Palang Merah Indonesia. Kepala Staf S. Suryadarma dengan mengendarai jeep, secara khusus datang menyambutnya ke lapangan udara Maguwo.
 

Beberapa saat pesawat itu berputar-putar mengelilingi landasan untuk mengadakan pendaratan, namun di luar dugaan dari arah utara muncul dua buah pesawat pemburu Kittyhawk milik Belanda, yang langsung memuntahkan pelurunya ke arah pesawat Dakota VT-CLA yang tak bersenjata itu. Tembakannya tepat mengenai sasaran, akibatnya keseimbangan pesawat itu hilang. Saat itu nampak pilot masih berusaha mengadakan pendaratan darurat, namun pesawat terus meluncur menabrak sebatang pohon yang akhirnya jatuh dan terbakar.
 

Peristiwa yang sangat menyedihkan ini terjadi di dekat daerah Jatingarang, sebelah utara Ngoto dekat kali Code. Ternyata hanya seorang penumpang saja yang selamat yaitu A. Gani Handonocokro. Yang lain gugur semua yaitu :
 

Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto
Komodor Muda Udara Prof. Dr Abdurrachman Saleh
Penerbang berkebangsaan Australia A.N. Constantine
Co-pilot berkebangsaan Inggris R. hazelhurst
Juru Radio Opsir Udara Adisumarmo Wiryokusumo
Juru Teknik berkebangsaan India Bhida Ram
Nyonya Constantine
Zainal Arifin, wakil Perdagangan RI di Singapura

Dengan rasa duka yang mendalam, rakyat berjejal memadati jalan-jalan yang dilalui iringan jenazah. Mereka ingin menyaksikan dan melepaskan kepergian yang terkhir bagi pahlawan-pahlawannya itu. Peristiwa ini sudah tentu merupakan pukulan berat yang dirasakan oleh Suryadarma sendiri, karena telah kehilangan dua orang pembantu utamanya yang terpercaya dalam pembangunan AURI.
 

Jenazah para pahlawan itu kemudian dimakamkan di pekuburan Pakuncen Yogyakarta. Saat itu Bendera Merah Putih, Union Jack (Bendera Inggris) dan Bendera India berkibar setengah tiang tanda berduka cita. AURI telah kehilangan dua orang pelopor dan pahlawannya demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 

Marsekal Muda TNI Anumerta Agustinus Adisutjipto gugur dalam usia masih muda, 31 tahun. Namun namanya akan tetap tergores abadi dalam kalbu setiap penerbang Indonesia.
 

Bagi Ibu Adisutjipto sendiri masih terngiang ucapan terakhir Adisutjipto, sebelum suaminya gugur di medan tugas: “Kalau nanti ada waktu, nanti jij (kamu) saya jemput”. Kata-kata itu ditulis almarhum dalam surat terakhir untuk isterinya.
 

Untuk mengenang peristiwa tragis tersebut, maka oleh pihak pimpinan Angkatan Udara tanggal 29 Juli ditetapkan sebagai Hari Bhakti dengan tujuan :
 

Mengenang dan mempelajari kembali perjuangan dan pengorbanan Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdurrahman Saleh serta Opsir Udara Adisumarmo Wiryokusumo.
 

Menjadikan Hari Peringatan Umum bagi seluruh pahlawan-pahlawan Angkatan Udara, yang telah gugur dalam menunaikan tugas perjuangannya.

Melalui peringatan tersebut, maka secara langsung atau tidak, kita dihadapkan kepada suatu tuntutan pertanggungjawaban moral terhadap pengorbanan dan perjuangan mereka yang telah gugur mendahului kita termasuk kedua tokoh AURI tersebut.
 

Sebagai penghargaan atas kepahlawanan Adisutjipto, Presiden RI telah menganugerahkan Bintang Garuda dan Bintang Mahaputra Tingkat IV yang diterimakan kepada isteri almarhum. Di samping itu almarhum dinaikkan pangkatnya menjadi Laksamana Muda Udara Anumerta
 

Sebagai kenang-kenangan dan tanda terima kasih atas pengorbanan yang diberikan Adisutjipto, beberapa tahun kemudian yakni pada tanggal 29 Juli 1965, oleh pimpinan AURI telah diserahkan sebuah rumah kepada isteri almarhum yang terletak di Jalan Sagan 12 Yogyakarta. Namun demikian, pemberian itu bukanlah merupakan ukuran atau nilai perjuangannya, sebab setiap pengorbanan pahlawan tidak dapat dinilai dengan materi.

Sumber :  http://202.158.39.213/content.asp?contentid=3265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar